Perjalanan kali ini saya memutuskan untuk mendaki
gunung Prau. Walaupun tinggal di dekat gunung dan sering bermain-main di gunung, namun baru kali ini saya kemping di gunug. Jadi sempat deg-degan juga, terutama memikirkan peralatan yang dibawa. Apalagi saya membawa kamera lengkap dengan lensa tambahan, flash, dan tripod. Padahal untuk kemping perlu juga membawa peralatan seperti sleeping
bag, jas hujan, senter dan lain lain. Jadilah bawaan saya lebih berat daripada bawaan teman yang bertugas membawa tenda.
Berawal dari Jakarta, kita start berdua naik bis dari terminal kampung Rambutan. Bis yang digunakan adalah bis
Pahala Kencana jurusan Jakarta - Wonosobo, kelas VIP 170 ribu. Sebelum sampai terminal
Wonosobo, kita berhenti di
Tunggoro, menginap di tempat teman di sana yang akan ikut juga ke gunung Prau. Paginya lanjut angkot dua kali, bertemu dengan dua teman lagi dari Surabaya. Perjalanan naik
ke gunung Prau dimulai dari
restoran Bu Djono , di sanakita bertemu dua orang guide yang sudah dihubungi dari beberapa hari lalu. Jadi kita total ber tujuh. Restoran Bu Djono ini juga ada losmen nya, jadi kalau tidak ada teman di daerah sana untuk menginap, sangat direkomendiskan untuk menginap di sini. Harganya juga tidak terlalu mahal, sekitar 150-200 ribu.
Mulai naik dari siang, perjalanan diperkirakan sekitar 2,5 sampai 3 jam untuk sampai puncak gunung Prau. Di perjalanan sempat kena hujan, untung sudah sedia Jas Hujan, terlebih karena takut kamera rusak kena air. Walaupun licin karena hujan, jalur ke puncak gunung Prau tidak terlalu berat. Jalur yang melewati beberapa pos tersebut kita selesaikan dalam waktu 3 jam kurang , sesuai perkiraan.
Kita tiba di puncak pada sore hari. Sayang
Sunset tidak tampak, tertutup kabut tipis. Terlihat sebentar, lalu tertutup kabut lagi. Mulai muncul kekhawatiran
Sunrise pun tidak bisa dinikmati karena kabut, seperti pengalaman sebelumnya di
Bromo. Proses mendirikan tenda juga sempat terhambat karena besi untuk tenda ternyata tertinggal. Jadi terpaksa cari pohon agar tenda bisa diikat di pohon. Parahnya pula, tenda tersebut ternyata mengembun di pagi hari. Jadi kami terbangun karena tetesan air dari dalam tenda. 2 bungkus
rokok dan dan handphone pun ada yang terendam. Beruntung kamera saya disimpan di dalam tas, tidak terlalu basah.
Beruntung pagi hari cuaca cerah. Tidak ada hujan, tidak ada kabut. Dan saya menyaksikan Sunrise yang amat menakjubkan. Matahari terbit di antara dua gunung, gunung tersebut di atas awan, dan ada bukit di dekat saya. Guide kita mengatakan bahwa kita cukup beruntung. Selama dua minggu ini, hampir setiap pagi matahari tertutup kabut hingga Sunrise tidak tampak. Baru hari ini cerah dan Sunrise bisa dinikmati
Keuntungan kemping di gunung adalah tidak terlalu banyak orang, jadi bisa keliling mencari tempat yang bagus untuk mengambil foto. Tidak seperti di Bromo ketika mengambil foto dari Pananjakan, terlalu banyak pengunjung lain hingga susah mendapatkan
Foreground bagus. Di gunung Prau kita bebas keliling mencari objek untuk Foreground, misalnya pohon. Baik pohon mati atau pohon hidup.
Untuk mengambil foto Sunrise di puncak gunung Prau, sebaiknya gunakan lensa yang tidak terlalu wide.
Gunung Sumbing dan
gunung Sindoro terletak cukup jauh, terlalu kecil untuk menggunakan lensa
Sigma 8-16mm saya. Bahkan di lensa
Tokina 17-35mm masih terlalu kecil, karena itu saya memasukkan Foreground juga. Saya menggunakan 17mm utuk foto ini, dengan bukaan kecil f22 agar bentuk matahari
seperti bintang.
Kelebihan lain dari gunung Prau adalah pemandangan masih sangat menarik bahkan setelah Sunrise lewat. Dibantu dengan
Gradual ND Filter , saya mendapatkan foto ini.